Pengamat anak, Evarisan menilai pendidikan seks harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah munculnya Ariel-Ariel yang lain.
"Pengetahuan tentang seks selama ini masih dianggap tabu di kalangan masyarakat," kata Evarisan yang juga Korodinator Legal Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM).
Akibatnya, kata dia, anak-anak maupun remaja mencari informasi seks secara sembarangan melalui internet maupun film porno, dan hal itu justru yang sangat disayangkan. "Selama ini, pendidikan seks selalu diartikan jorok dan ketika ada anak yang bertanya hanya diberikan pelarangan tanpa menjelaskan secara konkrit yang dimaksudkan," ujarnya.
Menurut dia, penjelasan yang tidak tuntas semacam itu jsutru membuat anak-anak menjadi penasaran dan kemudian memilih mencarinya sendiri tanpa bimbingan dari orang tuanya. Ia mengaku sangat prihatin dengan data-data terkait aktivitas seks anak-anak dan remaja, seperti menyebutkan berapa persen siswa SMP pernah melakukan aborsi, dan sebagainya.
"Itu bukti nyata bahwa negara belum mampu memberikan perlindungan yang benar terhadap anak-anak, apalagi selama ini antisipasinya hanya dilakukan dengan regulasi," jelasnya.
Selama ini, kata dia, antisipasi berupa regulasi, seperti UU Nomor 23/2003 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 44/2008 tentang Pornografi juga belum benar-benar teruji dan terealisasi. Oleh karena itu, Evarisan menilai, pendidikan seks sudah saatnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, diiringi dengan penyelenggaraan pendidikan yang diarahkan untuk pembentukan karakter.
"Pengetahuan tentang seks selama ini masih dianggap tabu di kalangan masyarakat," kata Evarisan yang juga Korodinator Legal Resources Centre untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM).
Akibatnya, kata dia, anak-anak maupun remaja mencari informasi seks secara sembarangan melalui internet maupun film porno, dan hal itu justru yang sangat disayangkan. "Selama ini, pendidikan seks selalu diartikan jorok dan ketika ada anak yang bertanya hanya diberikan pelarangan tanpa menjelaskan secara konkrit yang dimaksudkan," ujarnya.
Menurut dia, penjelasan yang tidak tuntas semacam itu jsutru membuat anak-anak menjadi penasaran dan kemudian memilih mencarinya sendiri tanpa bimbingan dari orang tuanya. Ia mengaku sangat prihatin dengan data-data terkait aktivitas seks anak-anak dan remaja, seperti menyebutkan berapa persen siswa SMP pernah melakukan aborsi, dan sebagainya.
"Itu bukti nyata bahwa negara belum mampu memberikan perlindungan yang benar terhadap anak-anak, apalagi selama ini antisipasinya hanya dilakukan dengan regulasi," jelasnya.
Selama ini, kata dia, antisipasi berupa regulasi, seperti UU Nomor 23/2003 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 44/2008 tentang Pornografi juga belum benar-benar teruji dan terealisasi. Oleh karena itu, Evarisan menilai, pendidikan seks sudah saatnya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, diiringi dengan penyelenggaraan pendidikan yang diarahkan untuk pembentukan karakter.